kebo - keboan banyuwangi


Ritual kebo-keboan digelar setahun sekali pada bulan Muharam atau Suro (penanggalan Jawa). Bulan ini diyakini memiliki kekuatan magis. Konon, ritual ini muncul sejak abad ke-18. Di Banyuwangi, kebo-keboan dilestarikan di dua tempat yakni di Desa Alasmalang, Kecamatan Singojuruh, dan Desa Aliyan, Kecamatan Rogojampi.

Munculnya ritual kebo-keboan di Alasmalang berawal terjadinya musibah pagebluk. Kala itu, seluruh warga diserang penyakit. Hama juga menyerang tanaman. Banyak warga kelaparan dan mati akibat penyakit misterius. Dalam kondisi genting itu, sesepuh desa Mbah Karti melakukan meditasi di bukit. Selama meditasi, tokoh yang disegani ini mendapatkan wangsit. Isinya, warga disuruh menggelar ritual kebo-keboan dan mengagungkan Dewi Sri atau yang dipercainya sebagai simbol kemakmuran.

Keajaiban muncul ketika warga menggelar ritual kebo-keboan. Warga yang sakit mendadak sembuh. Hama yang menyerang tanaman padi sirna. Sejak itu, ritual kebo-keboan dilestarikan. Mereka takut terkena musibah jika tidak melaksanakannya.

Tahun 1960-an ritual ini pernah tidak dilaksanakan karena situasi politik. Banyak warga kesurupan dan meminta sesaji. Dalam kondisi tak sadar, warga meminta kebo-keboan dilestarikan. Warga akhirnya kembali menggelar ritual serupa hingga sekarang.
“Ritual ini akan terus dijaga hingga kapan pun. Ini adalah warisan dan perintah dari leluhur desa ini,” kata Indra Gunawan (40), tokoh adat setempat.

Ritual yang meminta berkah keselamatan sebelum memulai musim tanam padi itu dimulai berbagai persiapan seperti memasang pintu gerbang terbuat dari hasil bumi, hingga menanam segala jenis pohon di tengah jalan. Tanaman inilah yang akan dilewati kerbau jadi-jadian. Pohon ditanam di sepanjang jalan menuju empat arah mata angin yang mengelilingi desa.

Hasil bumi sebagai simbol ungkapan syukur kepada penguasa alam. Warga menyambut ritual ini mirip perayaan hari raya. Hari pelaksanaan upacara dihitung menggunakan kalender Jawa kuno. Biasanya kepastian itu diputuskan para sesepuh adat. Pada hari pelaksanaan, seluruh warga membuat tumpeng ayam.

Sesajen ini dimasak secara tradisional khas suku Using, yakni pecel ayam, daging ayam dibakar dan dicampur urap kelapa muda.
Menjelang siang hari, warga berkumpul di depan rumah masing-masing. Beberapa orang bergerombol di pusat desa bersama para pejabat dan undangan. Dipimpin sesepuh adat, warga berdoa menggunakan bahasa Using kuno. Usai berdoa, warga berebut menyantap tumpeng yang diyakini mampu memberikan berkah keselamatan.

Usai pesta tumpeng, ritual dilanjutkan mengarak kerbau jadian-jadian. Puluhan manusia kerbau diarak keliling kampung. Layaknya kerbau, mereka berlari dikendalikan seorang petani. Bau kemenyan dan bunga merebak. Sebelum keliling kampung, seluruh manusia kerbau dikumpulkan dan diberi ritual khusus. Dalam kondisi tak sadar, mereka diarak diiringi gamelan angklung.

Puluhan kerbau jadi-jadian berjalan bergerombol. Beberapa ada yang nakal dan mencoba masuk di kerumunan massa yang menonton di pinggir jalan. Bagi yang tercium kerbau diyakini mendapat berkah. Tak sedikit, warga berebut untuk dicium. Jalan yang dilalui arak-arakan sengaja dibanjiri air. Tujuannya, kerbau yang lewat bisa berkubang.

Iring-iringan berjalan pelan ke arah empat penjuru desa. Di masing-masing arah, ditempatkan sesaji simbol tolak-balak. Sesaji terdiri atas bunga dan berbagai jenis hasil bumi. Di belakang gerombolan kerbau, sebuah kereta terbuat dari berbagai hasil bumi ikut berjalan pelan. Ini adalah kereta yang ditumpangi Dewi Sri. Sesosok perempuan cantik duduk dikelilingi beberapa petani. Di depannya, empat perempuan tua membawa peralatan ke sawah. Ini simbol petani yang akan bekerja di sawah.

Selain iring-iringan kerbau dan kereta Dewi Sri, belasan grup kesenian tradisional khas suku Using ikut ditampilkan, mulai kuntulan, gandrung hingga tari barong. Ada juga reog Ponorogo yang menambah riuhnya suasana.

Perjalanan arak-arakan berakhir di pusat kampung. Di tempat ini, Dewi Sri turun dari kereta dan memberikan berkah kepada petani. Sosok Dewi keberuntungan ini membagikan benih padi. Lagu pujian berkumandang mengagungkan kebesaran dewi kemakmuran ini. Selama ritual ini kerbau yang kesurupan berubah jinak. Mereka mendekat dan tunduk pada sosok Dewi Sri yang tersenyum ramah.

Kebo-keboan diakhiri dengan prosesi membajak sawah. Sepasang manusia kerbau menarik bajak di tengah sawah berlumpur. Layaknya kerbau asli, mereka berkeliling di hamparan sawah yang siap ditanami. Lalu, benih biji padi disebar. Warga langsung berebut biji yang baru disebar. Benih itu diyakini memberikan kesuburan.

Setelah berebut benih, warga, termasuk anak-anak, saling bergumul dengan manusia kerbau dalam lumpur. Mereka menikmati suasana sawah yang siap ditanami. Kegiatan ini yang paling dinanti warga. Mereka akan puas setelah mendapat benih dan ikut berkubang dalam lumpur, papar Indra Gunawan yang mengaku keturunan ke-6 sesepuh Desa Alasmalang.

Nama Alasmalang berasal dari kata alas (hutan) dan malang (melintang). Alasmalang berarti hutan yang melintang di atas bukit panjang. Di tempat ini terdapat makam keluarga Mbah Karti dan keturunannya. Di sini terdapat batu mirip tempat tidur yang dikenal watukloso. Batu ini dahulu tempat istirahat Mbah Karti. Hingga kini, sebagian besar warga Alasmalang adalah keturunan Mbah Karti

0 Response to kebo - keboan banyuwangi

Posting Komentar